Sabtu, 09 Juli 2011

Mencari Hakikat Bahtera Nabi Nuh

Kisah tentang Perahu Nabi Nuh kembali muncul ke permukaan pada saat peringatan 6 tahun Gempa dan Tsunami Aceh. Di situs Liputan6.com tanggal 26 Desember 2010 kisah ini dideskripsikan dengan tampilan sebuah perahu yang berlabuh di atas sebuah rumah di Lampulo Banda Aceh. Konon perahu ini berhasil menyelamatkan 59 nyawa pada peristiwa maha dahsyat itu. Kedatangan perahu ini secara tiba-tiba di saat musibah gempa dan Tsunami terjadi, membuat orang-orang meyakini perahu ini sebagai gambaran perahu Nabi Nuh yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan mereka.
Sebagai orang beriman, kisah perahu besar Nabi Nuh yang tercatat dalam al-Qur’an merupakan peristiwa nyata bukan mitos. Perdebatan yang muncul adalah keberadaan Bahtera itu. Tidak sedikit ahli dan sarjana Barat beranggapan, bahwa hingga saat ini sisa-sisa peninggalan perahu Nabi Nuh tersebut masih tersimpan di puncak gunung Ararat Turki. Mereka menyebutnya sebagai “The Great Noah Ark .”
Kisah mengenai Perahu atau Bahtera Nabi Nuh sendiri diceritakan secara garis besar di dalam Q.S. al-Qamar (54): 9-15:
                                               •     
Terjemahnya: "Sebelum mereka, telah mendustakan pula kaum Nuh, maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: "Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman". Maka dia (Nuh) mengadu kepada Tuhannya: "bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku)". Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. Yang berlayar dengan pandangan mata Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh). Dan sesungguhnya telah Kami tinggalkan kapal itu sebagai tanda, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?"
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini: "Dan sesungguhnya Kami tinggalkan dia sebagai tanda," maksudnya sebagai pelajaran. Menurut pendapat lain, maksudnya adalah perahu yang Allah tinggalkan sebagai tanda bagi orang setelah kaum Nuh agar mereka mengambil pelajaran dari hal itu sehingga tidak mendustakan para Rasul. Berkata Qatadah: "Allah meninggalkan perahu itu di Baqardi di negeri Jazirah (satu tempat di negeri Iraq) sebagai pelajaran dan tanda sehingga bisa dilihat oleh generasi awal dari ummat ini. Betapa banyaknya perahu selain perahu ini, tetapi kemudian hancur menjadi abu."
Ucapan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat "Dan kami tinggalkan dia …" mencakup tiga makna:
Pertama, maksudnya adalah Kami tinggalkan kisah ini sebagai pejaran bagi orang setelahnya.
Kedua, maksudnya Kami tinggalkan perahu Nuh agar dilihat oleh ummat setelahnya agar mereka mengambil pelajaran dari diselamatkannya orang-orang mukmin oleh Allah dan dihancurkannya orang-orang kafir. Ketiga, maksudnya adalah Kami tinggalkan sejenis perahu tersebut di bumi dan Kami beritahukan kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran dari nikmat Allah kepada mereka dan bagaimana Allah membiarkan hidup keturunan Nuh dan orang mukmin setelah diselamatkan dengan perahu yang ada dan dikenal ini.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka upaya-upaya mencari fisik Perahu Nabi Nuh itu dan kemudian meyakini keberadaannya bukanlah merupakan penyimpangan dari syariat atau akal. Sebab diharapkan agar itu dapat dilihat oleh generasi manusia setelah Nabi Nuh sekaligus menjadi tanda dan pelajaran bagi mereka. Namun tidaklah berarti bahwa setiap orang yang menemukan perahu lama atau artefak-artefak yang berasal dari perahu kuno lalu dianggap sebagai perahu Nuh yang harus dipercaya. Apalagi perahu yang menolong 59 orang di Lampulo Banda Aceh pada saat terjadi Banjir Bah dan Tsunami. Karena yang paling utama dari semua kisah yang terdapat di dalam al-Qur’an termasuk kisah bahtera Nabi Nuh adalah bagaimana kisah dan kronologinya dapat memberikan nilai dan pelajaran bagi umat manusia yang dapat berguna dalam kehidupannya. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa tujuan utama kehadiran al-Qur’an adalah sebagai pemberi petunjuk dan pemberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia. Maka ia tidak memandang begitu penting untuk mencari tahu rincian hal-hal yang sifatnya simbolik, proses, serta nama-nama pelaku dan tempat yang tidak diuraikan secara gamblang oleh al-Qur’an.
Kembali ke kisah Bahtera Nabi Nuh. Dari ayat mengenai kisah ini dapat kita bayangkan bagaimana Nabi Nuh merancang sebuah bahtera yang begitu besar di puncak gunung. Kita tahu bagaimana ia merancangnya jauh sebelum datangnya Tsunami itu, di tengah tantangan yang begitu besar. Karena logika kaumnya saat itu adalah logika picik yang hampa dari keimanan. Mereka mengejek, mengumpat dan mencemooh perbuatan Nabi Nuh tersebut. Menurut mereka, perbuatan itu gila. Membuat bahtera di atas gunung, di daerah tandus yang tidak ada tanda-tanda turunnya hujan walaupun setitik.
Tapi tanpa di dahului tanda-tanda yang sesuai dengan akal mereka, tsunami datang bersama air bah. Hanya segelintir saja kaum Nabi Nuh yang percaya bahwa yang datang itu adalah azab Allah, lantas karena itu mereka naik ke atas bahtera. Yang lain, mereka tak kunjung mau beriman meskipun azab itu telah ada di depan mata. Mereka lebih mempercayai akal mereka bahwa gunung yang tinggi mampu menjadi tepat berlindung. Anehnya, anak Nabi Nuh ada di antara mereka yang tidak beriman, meskipun Nabi Nuh terus mengajaknya naik ke Bahtera. Itulah gambaran azab Allah yang tidak mengenal jargon nepotisme.
Sebuah kisah yang abadi. Tidak penting bagi kita untuk mencari di mana fisik Bahtera itu sekarang. Harus diyakini, bahtera itu pada hakikatnya masih tetap ada, setidaknya dalam tataran simbolik. Bahtera itu seakan-akan masih ada dan menunggu siapa saja yang ingin naik dan selamat dari air bah, badai Tsunami dan bermacam-macam musibah yang mengancam akan datang secara tiba-tiba. Tugasnya belum usai dan terus berlanjut, menunggu sia

pa saja yang ingin naik ke atasnya.
Jika kita mampu mengambil pelajaran, maka kita akan memahami bahwa fisik bahtera itu telah berubah. Demikian pula air bah dan Tsunami dalam kisah Nabi Nuh tersebut. Akan tetapi substansi keduanya tetap lestari bersama kompleksnya permasalahan duniawi yang mampu menenggelamkan siapa saja setiap saat. Tidak ada yang mampu memberi keselamatan kecuali substansi yang diemban oleh Bahtera Nabi Nuh. Kayu mayu dan tiangnya mungkin telah hancur. Namun substansinya tetap ada yaitu “keimanan kepada Allah dan konsistensi (istiqamah) mempertahankan keimanan itu.” Inilah makna dari naik ke atas Bahtera Nabi Nuh. Wallahu A’lam (SR)

PEMIKIRAN KEAGAMAAN Faktor-faktor Pertumbuhan, Kebekuan dan Reformasi


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena sejarah tidak selalu dapat mengartikulasikan sejarah pemikiran, begitulah kesimpulan tesa Muhammad Arkoun dalam menyingkap sejarah pemikiran Islam. Hal ini tampak wajar bila melihat fenomena sejarah yang dengan mudah diketahui melalui catatan-catatan sejarah, peninggalan sejarah secara fisik (artefak) dan sarana lainnya, namun sangat berbeda dengan sejarah pemikiran yang berkait erat dengan epistema (al-niżām al-fikriy) yang nota bene adalah sesuatu yang abstrak.
Menurut Michel Foucault, epistema merupakan relasi-relasi yang ada dalam pengetahuan-pengetahuan dalam waktu tertentu. Epistema tidak Harus bersifat ilmiah dan rasional. Ia merupakan faktor intern dalam diri manusia sebagai pelaku sejarah, berada dalam ruang bawah sadar dan tidak dapat dilokasikan sebagai kekuatan luar pada individu yang lain. Karena itu upaya untuk memberi periodeisasi pada pemikiran Islam adalah sesuatu yang sulit disebabkan oleh wujudnya yang nisbi. Dikatakan nisbi, karena adanya proses saling mempengaruhi dalam wacana pemikiran; pemikiran awal akan mempengaruhi pemikiran selanjutnya. Namun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap periode ini, dominasi sebuah epistema sangat tampak, sehingga dalam setiap periode mempunyai karakteristik khusus yang berbeda dengan periode lainnya
Hal ini bisa terlihat pada periodeisasi Harun Nasution (HN) atas sejarah Islam ketika ingin membahas lebih jauh mengenai pembaharuan (pemikiran) dalam Islam. HN membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode besar; klasik, pertengahan dan modern. Periode Klasik berlangsung antara tahun 650-1250 M. Periode ini adalah periode di mana ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang dengan subur, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non-agama. Periode Pertengahan berlangsung dari tahun 1250-1800 M. Seperti halnya di semua bidang kehidupan pada periode ini, ilmu pengetahuan juga mengalami kemunduran. Pertentangan antara Sunni dan Syiah mewarnai bidang pemikiran. Slogan bahwa “pintu ijtihad telah tertutup” amat meluas dan tarekat amat berkembang. Adapun Periode Modern berlangsung dari masa 1800 M. sampai sekarang.
Kategorisasi pemikiran seperti dikatakan sebelumnya adalah sesuatu yang sulit. Dengan demikian, antara sesama pemikir muslim mereka berbeda berdasarkan sudut pandang mereka yang juga berbeda. Selain HN dengan kategorisasi pemikiran berdasarkan periodeisasi sejarah di atas, Muhammad Arkoun dan Muhammad ‘Ābid al-Jābiriy juga memberi kategorisasi yang berbeda. Arkoun memberi kategorisasi secara periodik juga. Zaman Nabi saw. dan khalifah yang empat (al-Khulafā`u al-Rāsyidūn) masuk kepada periode klasik dari 661-1258 M. Periode Islam skolastik dari abad 13-19 M., dan Islam Modern setelah abad 19 M. Sedangkan Muhammad ‘Ābid al-Jābiriy berusaha menguak epistemologi pemikiran Islam berdasarkan letak geografis. Menurutnya, proyek pemikiran teoritis di Maroko, Andalusia dan Cordoba (al-Magrib) memiliki ciri yang berbeda dengan proyek intelektual di al-Masyriq (Bagdad, Damaskus dan Kairo) yaitu proyek Abbasiyah dan Syiah Fatimiyah Ismailiyah. Di daerah al-Masyriq, epistemologi pemikirannya bersandar pada gnostisisme (al-‘Irfān) sedangkan di daerah al-Magrib, epistemologi pemikirannya berdasar pada al-Naz‘ah al-Burhâniyah yaitu naz‘ah (inklinasi) yang lahir dari jiwa kritis ilmiah yang bersandar dari epistema rasionalis. Naz‘ah ini dimulai dari kecemerlangan filosof Cordoba (Ibnu Rusyd) yang berhasil memberi nuansa baru dalam sejarah pemikiran Islam.
Pemikiran keagamaan ketika menemukan momentumnya, ia akan berkembang dan memberi kontribusi positif bagi manusia. Sebaliknya, jika pemikiran hidup di dalam suasana yang tidak kondusif, instabilitas dan kekacauan, ia malah akan mempercepat proses kejatuhan sebuah umat.
Demikian pula di dalam dunia Islam. Pemikiran keagamaan telah mengalami dinamika seiring dengan perjananan sejarah umat Islam itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dinamika pemikiran keagamaan di dunia Islam, selanjutnya dapat dibahas lebih jauh dengan memetakan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pemikiran Keagamaan pada masa klasik dan faktor yang melatari pertumbuhannya?
2. Bagaimana type pemikiran keagamaan pada masa pertengahan dan faktor penyebabnya?
3. Bagaimana pula pemikiran keagamaan di masa modern?
II. PEMBAHASAN
A. Periode Klasik; Pertumbuhan Pemikiran Keagamaan
Pemikiran keagamaan dalam Islam (al-Fikr al-Islāmiy) pada dasarnya memiliki atmosfir yang sangat berbeda dengan pemikiran manapun, khususnya Barat disebabkan oleh dua hal: Pertama; sebagai pemikiran yang bercorak Islam, ia memiliki materi, tema dan metode tersendiri. Kedua; berdasarkan sumber, pemikiran ini adalah bercorak Islam dengan turunnya wahyu Tuhan kepada Rasulullah saw.
Pemikiran Islam sebagai sebuah pemikiran yang berdasarkan Islam tidak bisa dilepaskan dari kondisi lokal sebelumnya. Masyarakat Arab sebelum Islam datang memiliki epistema yang dapat disimpulkan dari cerita-cerita sejarah. Hal itu bisa terlihat dengan adanya beberapa perjanjian untuk melindungi dinamisasi perdagangan dan kedamaian sosial. Perjanjian Hilf Fudūl adalah salah satu indikasi adanya keinginan untuk mengutamakan persatuan dan kedamaian serta mengenyampingkan inklinasi kesukuan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Indikasi lain adalah dengan ditetapkannya dialek Quraisy sebagai dialek resmi dalam berkomunikasi dan dijadikannya al-Bait al-Haram sebagai tujuan dan pusat kegiatan ritual keagamaan.
Karakteristik pemikiran bangsa Arab sebelum berhadapan dengan epistema Islam, menurut Ibrāhim al-Bayyūmiy, guru besar filsafat Univ. Al-Azhar bercorak materialistis. Ia berkesimpulan demikian setelah menganalisa kisah Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah. ‘Abd al-Muţţalib yang dipercaya sebagai penjaga Ka’bah, menemui Abrahah untuk bernegosiasi. Ia mengatakan bahwa jika tentara ingin merampas ternak unta mereka, mereka akan mempertahankannya dan memberi perlawanan. Akan tetapi jika tujuan mereka untuk menghancurkan Ka’bah, mereka akan membiarkannya. Alasannya, Ka’bah milik Allah, dengan demikian tentara Abrahah akan berhadapan langsung dengan Allah. Ini menandakan ‘Abd al-Muţţalib sebagai wakil bangsa Arab, lebih mengutamakan membela hal-hal yang sifatnya materi dan tidak mencampuri hal yang sifatnya spritual-transendental.
Tampilnya Muhammad saw. sebagai penerima wahyu terakhir pada dasarnya tidak lepas dari kecenderungan mereka untuk senantiasa bersatu. Ajaran yang dibawanya tidak hanya bertujuan menyatukan bangsa Arab akan tetapi juga menyatukan umat manusia. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang menggunakan konteks manusia secara keseluruhan tanpa membedakan suku, ras dan predikat-predikat lain. Sebutlah misalnya kata al-nās, berulang 240 kali
Epistima pemikiran bangsa Arab memasuki era baru dengan datangnya Islam. Pemikiran ini kemudian mulai berkembang dan menemui momentumnya disebabkan oleh adanya beberapa faktor:
1. Faktor wahyu; yaitu semua yang diturunkan kepada Rasulullah saw. meliputi al-Qur’an; lafaz dan maknanya, dan Sunnah Rasulullah saw.
2. Penggunaan al-Ra’yu atau lebih tepat jika kita terjemahkan sebagai akal ijtihad. Yaitu pada kondisi ketiadaan bukti dari al-Qur’an dan Sunnah. Hadis tentang persetujuan Nabi atas jawaban Mu’az ibn Jabal ketika diutus sebagai Duta Nabi saw di Yaman adalah dalil paling populer mengenai penggunaan akal ijtihad di dalam Islam.
Di dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan baru mengenai hubungan agama Islam dengan agama-agama sebelumnya yang pada masa itu berada dalam posisi pertentangan di dalam dunia pemikiran, seperti; tauhid, pensucian Tuhan, hubungan Tuhan dengan manusia, hubungan wahyu dengan manusia, penciptaan dan kebangkitan, kebebasan dan lain-lain.
Dengan mengungkap problematika di atas, al-Qur’an berhasil membangunkan rasio bangsa Arab dalam menghadapi arah yang baru dari apa yang sebelumnya menempati daerah rasio mereka.
Selain al-Qur’an, wahyu yang lain yang menjadi sumber kewenangan hukum adalah sunnah Nabi yang dipahami dari hadis-hadisnya. Posisi sunnah sebagai wahyu atas al-Qur’an adalah: a) Fungsi penafsir atau perinci atas ayat-ayat al-Qur’an yang global. b) Fungsi penegas atas apa yang telah diungkapkan al-Qur’an. c) Fungsi pembina hukum baru atas hukum yang tidak dibina oleh al-Qur’an, seperti waktu shalat dan lain-lain. Fungsi yang begitu sentral yang diemban sunnah, membuat umat Islam memberi perhatian yang besar. Hal ini membuat suburnya bidang keilmuan seputar sunnah Nabi.
Seangkan posisi akal pada masa Nabi belum memiliki otoritas mutlak dalam produk hukum syariat. Ia tidak bisa lepas dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi, kecuali jika ada pengesahan dari Nabi. Benar salahnya disesuaikan dengan ketetapan Nabi. Karena itu tidak ada ruang bagi ra’yu dan ijtihad jika bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Rasulullah kemudian menjadi otoritas tunggal dalam tasyri’ (produk hukum syariat) serta standar dalam tingkah laku.
Masa kenabian pada masa klasik ini adalah masa pembinaan sumber hukum baru dan penetapan sumber epistema Islam. Juga merupakan masa kesatuan dalam pemikiran. Umat Islam kala itu menerima taken for granted ketetapan-ketetapan Rasulullah saw. pada masalah ibadah, kehidupan sosial, kepemimpinan, politik dan lain-lain. Pada masa ini tidak ditemukan penentangan, pertentangan, kontroversi dan benturan-benturan. Rasulullah menjadi referensi mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai wacana keagamaan. Dengan demikian Rasulullah dapat mengeliminir kebingungan dan kegamangan yang ada pada umat Islam. Semua pertanyaan dalam berbagai bentuknya dapat dijawab, akan beliau amat membenci jika wujud pertanyaan itu adalah perdebatan dalam masalah agama dan pertentangan di antara umat Islam. Sebuah riwayat dari ‘Amru ibn Syu’aib menggambarkan bahwa Rasulullah saw. marah mendengar para sahabatnya berdebat mengenai persoalan al-qadr (takdir). Beliau bersabda:
يَا قَوْم!!! بِهذَا ضَـلَّتْ الأُمَمُ قَبْلَكُمْ بِاخْتِلافِهِم عَلى أنْبِياَئِهِمْ، وَضَرْبِهِمْ الكِتاَبَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، وَإنَّ القُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ لِتَضْرِبُوْا بَعْضَهُ بِبَعْضٍ. وَلَكِنْ نَزَلَ القُرْآنُ فَصَدَّقَ بَعْضُهُ بَعْضًا، مَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوْا بِهِ وَمَا تَشَابَهَ فَآمِنُوْا بِهِ.
Terjemahnya: Hai kalian, karena persoalan itu (takdir), umat-umat sebelummu menjadi sesat karena perselisihan mereka dengan para Nabi mereka, dan mereka mempertentangkan isi al-kitab. Sedangkan al-Qur’an (yang diturunkan kepada kalian) tidak turun kalian saling pertentangkan isinya. Akan tetapi al-Qur’an turun, ayat-ayatnya saling membenarkan. Apa yang kalian ketahui dari al-Qur’an maka amalkanlah, dan apa yang samar bagi kalian maka imanilah.
Perbedaan di antara para sahabat di dalam memahami teks-teks keagamaan (ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi) terus terjadi seiring perkembangan wilayah Islam. Namun hal itu tidak larut dan menjadi sebuah perselisihan dan pertentangan. Sebab Rasulullah saw menjadi referensi dan setelahnya ada banyak sahabat yang memiliki pengetahuan yang mendalam atas al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Di dalam sejarah awal umat Islam sepeninggal Nabi saw. tercatat dua dikotomi dalam pemahaman teks-teks keagamaan; Madrasah al-Ra`y dan Madrasah al-Hadīŝ. Ahl al-Ra`y berpusat di Iraq; Kufah dan Bagdad. Madrasah (aliran) al-Ra`y cikal bakalnya berasal dari Abdullah ibn Mas’ud. Umar ibn al-Khaţţāb pernah berpesan kepada orang-orang yang bepergian ke Iraq agar tidak banyak meriwayatkan hadis, agar tidak bercampur dengan al-Qur’an yang belum lagi tersusun. Karena itu Abdullah ibn Mas’ud yang dikirim menjadi imam dan pengajar di sana banyak menggunakan ijtihad ketika ia tidak menemukan teks-teks al-Quran dan hadis yang terkait. Para ulama aliran ini lebih mengutamakan penggunaan rasio (analogi) sebab jumlah hadis yang sampai kepada mereka kurang banyak dan mereka amat berhati-hati dan apriori atas hadis yang beredar. Lagi pula banyak dari kalangan zindiq yang memalsukan hadis. Tokoh aliran ini yang kemudian sangat masyhur adalah Abu Hanīfah.
Di pihak yang lain, di Madinah berkembang Madrasah (aliran) al-Hadīŝ. Jika Umar memerintahkan berhati-hati menggunakan hadis bagi orang Iraq, maka bagi orang Madinah, ia memerintahkan untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Aliran ini lebih banyak menggunakan hadis di dalam memecahkan permasalahan keagamaan disebabkan banyaknya hadis yang beredar yang dapat dikonfrontir keabsahannya lewat para sahabat perawi hadis yang ada di Madinah. Penghulu Madrasah ini adalah Ibn Syihāb al-Zuhriy dan muridnya Mālik ibn Anas.
Perbedaan kedua aliran ini adalah cikal bakal munculnya empat mazhab di dalam Yurisprudensi Islam (fikih) yaitu mazhab Hanafi yang diimami oleh Abu Hanifah ibn al-Nu’mān (w. 150 H), mazhab Maliki yang diimami oleh Malik ibn Anas (w.179 H), mazhab Syafi’i yang diimami oleh Muhammad ibn Idris al-Syāfi’iy (w. 204 H) dan mazhab Hambali yang diimami oleh Ahmad ibn Hanbal (241 H).
Paradigma pemikiran keagamaan pada masa awal masa klasik bersifat sederhana, praktis dan lebih dekat dengan hukum dari pada teologi dan pembahasan metafisik. Hal ini seperti yang dijelaskan di atas adalahdisebabkan oleh kedudukan Nabi sebagai satu-satunya sumber ajaran keagamaan dan satu-satunya sumber rujukan bagi permasalahan yang ada. Hal ini amat sesuai dengan kondisi umat Islam yang lebih mengutamakan stabilitas masyarakat. Begitu pula pada masa empat khalifah, belum terjadi polemik yang berkaitan dengan pembahasan teologi dan metafisik. Umat Islam pada masa Abu Bakar disibukkan oleh perang melawan orang-orang murtad dan golongan yang menolak membayar zakat. Pada masa Umar ibn al-Khaţţāb, mereka disibukkan dengan perluasan wilayah (al-fath) dan dakwah kepada negara-negara tetangga. Pada masa Uŝmān ibn ‘Affān, masa awalnya juga disibukkan dengan perluasan wilayah dan pada akhir pemerintahannya disibukkan oleh kasus fitnah yang berakhir dengan terbunuhnya sang khalifah. Demikian pula pada masa Ali ibn Ţālib, umat Islam disibukkan dengan instabilitas politik. Dengan demikian terlihat jelas, bahwa stabilitas politik kawasan secara umum mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya wacana pemikiran.
Dinamika pemikiran keagamaan baru mengalami perkembangan pesat pada sekitar dua ratus tahun sejak pertengahan abad kedua hijriah. Pada masa ini banyak sekali diletakkan dasar-dasar perumusan baku ajaran Islam seperti yang kita kenal sekarang ini. Selain munculnya ilmu kalam (teologi spekulatif) oleh kaum Mu’tazilah serta filsafat oleh adanya gelombang Hellenisme. Pada masa ini juga tercatat adanya proses konsilidasi faham ahlu sunnah wa al-jamā’ah. Demikian pula dengan bidang fikih yang muncul sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki karakteristik sendiri seperti yang dijelaskan di atas. Bahkan secara khusus bidang keilmuan ini kemudian mendominasi wilayah pemikiran umat Islam beberapa abad kemudian.
Yang lebih penting lagi adalah pembukuan sunnah Nabi. Hadis-hadis yang memuat sunnah tidak dibiarkan lagi beredar tanpa pengawasan. Untuk menguji kebenaran riwayat ditetapkanlah pola-pola baku melalui sistem pengujian perawi (periwayat). Dari sini lahir ilmu Tārīkh al-Ruwāt (riwāyah) dan ilmu Dirāyah untuk menguji teks (matn) hadis.
Menurut Nurcholis Madjid, dengan terbukukannya hadis-hadis Nabi sekaligus menstabilkan dan semakin memperjelas perbedaan antara kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah dengan yang lain.
Pada masa pemerintahan Hārūn al-Rasyīd dari Dinasti Abbasiah, bidang keilmuan dan pemikiran terus berkembang dengan didirikan Dār al-Hikmah sebagai sebuah media yang memuat begitu banyak macam buku dari berbagai disiplin ilmu. Dār al-Hikmah semakin berkembang di bawah pemerintahan al-Ma’mūn (198-218 H). Di sinilah al-Kindiy (185-252 H) bekerja dan melakukan penerjemahan karya-karya klasik Yunani. Ia kemudian dikenal sebagai filosof Arab pertama (Faylusūf al-‘Arab).
Secara umum masa pemerintahan dinasti Abbasiah adalah masa keemasan bagi dunia Islam di dunia keilmuan. Para penguasa dinasti ini mulai Hārūn al-Rāsyid dan anak-anaknya telah memberikan dedikasi kepada perkembangan ini. Bahkan didorong oleh semangat ilmiah, pada masa ini para ilmuwan menelusuri tiga benua untuk mencari sumber-sumber ilmu. Nicholson melihat kemakmuran dan keberhasilan di bidang perekonomian (perdagangan) dengan jalur perdagangan yang aman pada masa Dinasti Abbasiah adalah faktor utama bangkitnya peradaban yang tidak ada bandingannya di Timur. Menurutnya, karena itu mulai khalifah hingga kalangan masyarakat paling bawah menjadi pencari ilmu dan pionir peradaban.
HN seperti periodeisasinya memandang bahwa corak pemikiran pada masa klasik adalah rasional. Faktor yang melatarbelakangi corak rasional ini adalah adanya teks-teks keagamaan dari al-Qur’an dan hadis yang menempatkan akal manusia pada porsi yang cukup luas. Faktor yang lain adalah masuknya filsafat dan sains Yunani ke dunia Islam pada masa Dinasti Abbasiah yang dapat berasimilasi dengan paradigma pemikiran Islam, yang meninggikan akal.
Namun demikian, corak rasional tidak secara utuh dapat menjadi corak mutlak masa klasik. Corak ini hanya mendominasi seperti yang penulis ungkapkan di dalam latar belakang pembahasan. Corak rasional pada pemikiran amat menghormati keragaman atau pluralisme pemikiran dan berlawanan dengan ekslusivisme dan primordialisme. Pada masa klasik tercatat beberapa kejadian yang bertentangan dengan corak rasional dan menjadi sejarah kelam pemikiran Islam yaitu kasus khalq al-Qurân (penciptaan al-Quran) yang menimpa Ahmad bin Hambal, atau kasus al-Mihnah (inquisisi) yaitu pemeriksaan paham pribadi oleh pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M) serta kasus pengharaman filsafat pada masa Ibnu Rusyd karena ia dianggap penyebar bid’ah oleh penguasa Spanyol Abū Yūsuf Ya’qūb al-Manşūr. Buku-buku Ibnu Rusyd dibakar kecuali yang sifatnya sains murni seperti kedokteran dan matematika.
B. Periode Pertengahan; Masa Kebekuan
Kebanyakan periodeisasi yang mengacu kepada fase kemunduran Islam mengambil peristiwa jatuhnya Bagdad ke tangan tentara Mongol pada tahun 1258 M sebagai tonggak awal.
Jika di zaman klasik Islam, Eropa sedang berada pada zaman pertengahan yang terbelakang, maka setelah Islam memasuki zaman pertengahan yang kelam, giliran Eropa mengalami kemajuan. Hal ini dilatari oleh kembalinya orang-orang Eropa (a.l. Italia, Perancis dan Inggris) ke negeri masing setelah belajar sains dan filsafat di Andalusia.
Menurut HN, corak rasional di dalam dunia pemikiran Islam berganti menjadi tradisional. Corak tradisional cenderung mempertahankan nilai-nilai lama dan tidak sanggup mengikuti perubahan yang dibawa sains dan pengetahuan modern. Terlebih jika di antara perubahan itu ada yang bertentangan dengan keyakinan-keyakinan keagamaan yang sudah lama dianut.
Peralihan corak pemikiran keagamaan dari rasional ke tradisional secara umum disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
1. Kondisi Sosial Politik
Pasca jatuhnya Bagdad ke tangan tentara Mongol, pusat pemerintahan beralih ke Mesir dengan berkuasanya Dinasti Mamālik. Dengan mengatasnamakan Khalifah Abbasiah, Mamālik mencapai dua hal yaitu mendapatkan legalitas sebagai sebuah kekhalifaan Islam dan memantapkan posisinya di antara kerajaan-kerajaan Islam yang lain. Dinasti Mamālik terbagi dua; Dinasti Mamalik Bahriyah (1254-1382 M) dan Dinasti Mamalik Burjiah (1382-1517 M). Masa pemerintahan sekitar tiga abad dipenuhi dengan instabilitas politik, ekonomi dan sosial. Masa pemerintahan para sultan Mamālik umumnya tidak lebih dari setahun akibat perebutan kekuasaan di antara mereka, seperti yang digambarkan oleh al-Maqrīziy. Selain itu, kebiasaan suap di kalangan pejabat semakin mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kehidupan ekonomi menjadi terganggu ditambah lagi dengan kemarau yang panjang dan harga-harga yang melonjak. Ini tercermin dari apa yang diungkapkan oleh al-Nawawiy (w. 676 H/1277 M) dalam suratnya kepada al-Mālik al-Zāhir.
Kondisi ini tentunya tidak kondusif bagi pengembangan keilmuan. Belum lagi kesibukan dalam menahan serangan tentara salib. Padahal setelah Bagdad diluluhlatakkan, para ulama banyak berhijrah ke daerah-daerah aman seperti Mesir dan Syiria. Kehidupan yang sulit ini membuat maraknya praktek-praktek kesufian dengan berdirinya hāniqah, rabaţ dan zāwiyah yang dianggap dapat membuat mereka melupakan hal-hal yang sifatnya duniawi.
2. Aspek absolut, mutlak dan baku dalam ajaran agama
Di dalam agama terdapat ajaran-ajaran yang absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tak bisa diubah. Ajaran-ajaran ini diyakini sebagai dogma dan sebagai akibatnya timbullah sikap dogmatis di dalam agama. Sikap dogmatis membuat orang tertutup dan tidak rasional. Hal ini amat bertentangan dengan sifat ilmu pengetahuan.
Adanya ajaran absolut sebenarnya mereka dasarkan pada QS. Āli ‘Imrān (3): 7. bahwa di dalam teks-teks keagamaan terdapat teks yang sifatnya absolut (muhkam). Akan tetapi wilayah absolut itu sendiri tidak dirinci di dalam al-Qur’an sehingga identifikasinya amat subyektif.
Di dalam ilmu tafsir, yang absolut (muhkam) diindentifikasi sebagai aspek-aspek agama yang mono-interpretasi seperti yang halal dan yang haram, farāid serta janji dan ancaman Allah swt.
Semakin luas wilayah muhkam, maka semakin sempit ruang untuk berijtihad atau menggunakan pemikiran. Demikian pula sebaliknya.
3. Slogan Pintu Ijtihad Telah Tertutup
Slogan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sesungguhnya adalah sisi negatif dari telah diletakkannya konsensus mengenai sunnah dan telah terintegrasinya sistem yurisprudensi Islam ke dalam beberapa aliran (mazhab). Sistem yurisprudensi dianggap telah baku dan terang. Sehingga sistem tersebut dianggap telah merespon segala permasalahan yang telah dan akan terjadi. Sehingga dianggap secara normatif, hasil ijtihad dan pemahaman ulama zaman klasik atas al-Qur’an dan sunnah bersifat mengikat mereka. Padahal para imam atau pendiri masing-masing mazhab tidak pernah menyatakan bahwa sistem yang mereka gunakan adalah yang final dan wajib diikuti.
Terbentuknya beberapa mazhab secara otomatis membuat mereka memiliki aliran hukum sendiri-sendiri. Masing-masing murid dari tiap mazhab menitik beratkan perhatiannya untuk membela dan memenangkan mazhabnya. Terkadang di dalam mengemukakan alasan-alasannya, mereka cenderung memuji dan menonjolkan imam mereka bahkan sampai pada tahap pengkultusan. Hal ini menyibukkan para ulama mazhab dan membuat mereka menyimpang dari asas pembentukan hukum yang pertama yaitu al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Ekses lain slogan ini adalah keterpakuan pada karya-karya yang telah ada terutama pada bidang fikih (aspek hukum) yang mendominasi wilayah pemikiran keagamaan. Ini diperparah dengan metode pengajaran yang cenderung tidak berpihak pada penggunaan rasio. Para syaikh atau guru-guru (terutama pada mazhab fikih) pada masa ini berusaha memberikan kemudahan yang sesungguhnya sedikit demi sedikit mematikan kreatifitas rasio para muridnya. Untuk itu mereka menyusun kitab yang merangkum masalah-masalah dalam kalimat yang singkat dan padat, agar mudah dihafal. Bentuk seperti ini disebut dengan matan. Sebagian guru terlalu ekstrim dalam menyusun matan sehingga kalimat-kalimatnya lebih mirip simbol atau rumus yang sukar dimengerti. Dari sini timbul kebutuhan untuk memberi syarah (penjelasan) atas matan-matan tersebut. Kitab-kitab syarah yang ada juga memiliki dua varian; antara sangat ringkas dan komprahensif. Syarah yang sangat ringkas lalu dijelaskan lagi yang biasa dikenal dengan nama hāsyiyah. Fenomena lain yang muncul dalam penyusunan kitab masa ini adalah fenomena ikmālāt dan tażyīlāt. Yang dimaksud dengan dua fenomena ini adalah pemberian informasi dan catatan tambahan dari seorang penyusun kitab atas kitab yang telah ada. Fenomena ini lazim terjadi pada kitab-kitab sejarah dan tarājum, semacam ensiklopedi dan biografi.
Bentuk-bentuk penyusunan di atas menjadi fenomena umum pada masa ini yang menggambarkan semakin kurangnya akal ijtihad penggunaan rasio dalam menemukan hal-hal yang baru. Kitab-kitab yang tersusun hanyalah lanjutan dari kitab-kitab yang telah ada sebelumnya.
4. Kesalahan dalam Memahami Gazaliisme
Seperti diketahui, pada masa klasik lahir berbagai aliran di dalam Islam, yang masing-masing saling meyakini kebenaran pendapat atas sesuatu. Aliran-aliran itu antara lain; al-Mutakallimūn (teolog spekulatif), al-Bāţiniyyah (Syiah Ismā’iliyyah), al-Falāsifah (filosof) dan al-Şūfiyyah (kaum sufi).
Al-Gazali (450-505 H) kemudian mulai mencari kebenaran yang hakiki di antara kebenaran yang diklaim oleh masing-masing aliran. Ia tidak mau bertaklid kepada pendapat orang dan tidak mau menerima begitu saja sebagai sesuatu yang benar. Ia selidiki secara mendalam kebenaran yang dikatakan hakiki itu. Secara langsung ia mempelajari masing-masing aliran itu.
Ia mampu menemukan kelemahan-kelemahan dari aliran al-Mutakallimūn dan al-Bāţiniyyah. Begitu pula ia berhasil menemukan kekacauan pada aliran filsafat. Lebih dari itu ia berpendapat bahwa ada di antara pemikiran mereka yang bertentangan dengan agama, sehingga ia turut mengkafirkan filosof yang memiliki pemikiran serupa. Sebaliknya ia berhasil menemukan yang hakiki pada aliran tasawuf.
Posisi filsafat yang naik daun berangsur-angsur jatuh dan mulai ditinggalkan. Beberapa kalangan meletakkan tanggung jawab kemunduran filsafat di dunia Islam di pundak al-Gazaliy. Meskipun sebenarnya jika ingin diteliti lebih jauh, dapat disimpulkan bahwa al-Gazāliy tidak mengharamkan filsafat kecuali aspek-aspek tertentu. Terbukti bahwa ketika ingin mengungkap kekacauan filsafat, ia juga medalami filsafat.
Sebagai alternatif dalam pencarian kebenaran, al-Gazāliy menampilkan ilmu tasawuf. Tawaran solutif yang diberikan al-Gazaliy untuk menjawab masalah-masalah keagamaan dianggap sebuah keberhasilan. Namun di sisi lain menurut penilaian Philip K. Hitti, keberhasilan al-Gazāliy yang gemilang sesungguhnya ialah bahwa dia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar untuk umat yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas intelektual Islam.
Penilaian ini ada benarnya, akan tetapi tidak bisa dianggap sebagai faktor langsung. Yang terjadi sesungguhnya adalah akumulasi dari kondisi realitas umat Islam pada masa pertengahan, sosial-politik dan ekonomi yang kemudian membawa kepada kurangnya akses pendidikan membuat umumnya masyarakat awam acuh dengan pengetahuan. Sehingga ketika jalan tasawuf menjadi trend di masa-masa sulit, terjadi degenerasi atau semakin menjauhnya ajaran tasawuf dari ajaran ideal, sebagai aspek esoteris ajaran Islam.
Memang benar, apa yang diajarkan oleh al-Gazāliy, sebagaimana ciri aspek esoteris, lebih menitikberatkan pada individu dari pada etos sosial. Sehingga jika penerimaannya salah, maka akan tercipta individu yang lari dari pergulatan dunia konkrit. Dan ini betul terjadi pada masa pertengahan. Tasawuf berkembang dalam berbagai tariqah yang terperangkap dalam mistisisme dan pemujaan (pengkultusan) orang-orang suci.
C. Periode Modern; Reformasi Pemikiran Keagamaan
Sebenarnya sebelum gerakan reformasi yang mengemuka pada abad 19, umat Islam telah menyaksikan ide pembaruan yang dilakukan oleh Ibn Taymiyyah (w. 1254 M). Ia menyerang sikap taklid dan praktek-praktek menyimpang yang dianggap bagian dari tasawuf. Beberapa pengetahuan yang dianggap baku selama ini oleh ulama khususnya dari kalangan sunni ia interpretasi ulang. Sebagai contoh pandangan bahwa Nabi itu ma’şūm (terjaga dari kesalahan). Ia berpendapat bahwa posisi ma’şūmnya Nabi hanyalah berkenan dengan tugasnya menyampaikan wahyu. Di luar tugas itu, para Nabi tidak terkecuali Nabi Muhammad adalah manusia biasa. Akan tetapi Ibn Taymiyyah tidak berhasil menciptakan suatu gerakan besar. Meskipun demikian dinamika ide-idenya itu telah menjadi khazanah dalam pemikiran Islam. Bahkan salah seorang tokoh pembaruan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhāb (w. 1792) yang menyerukan puritanisme merupa penerjemah gagasan-gagasan pembaruan Ibn Taymiyyah.
Ketika umat Islam Timur Tengah menjalin kontak dengan dunia Barat pada abad ke 18 Masehi, mereka begitu terkejut dengan kemajuan Eropa yang amat pesat. Eropa yang baru saja belajar dari mereka pada abad 12 dan 13 telah begitu maju. Bukti yang amat kentara adalah, kekalahan-kekalahan yang diderita umat Islam di dalam peperangan Dinasti Turki Usmani dengan Eropa Timur.
Di sisi lain, upaya Barat yang telah mengalami kemajuan di bidang sains yang juga membuahkan peralatan militer yang modern, membuat mereka percaya diri untuk melebarkan sayap dengan memasuki wilayah-wilayah yang semula dikuasai Islam dalam bentuk kolonisasi. Mereka melakukan itu selain untuk mencari sumber-sumber ekonomi, juga didorong oleh kekalahan-kekalahan masa lalu.
Invasi Napoleon Bonaparte memasuki Mesir pada akhir-akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gaung yang menyentak itu tidak hanya berasal dari meriam pasukan Perancis di bawah pimpinan Napoleon, tetapi juga berasal dari ekspedisi ilmiah yang turut bersama Napoleon. Ekspedisi ilmiah tersebut membawa misi; a) menelusuri dan mencari faktor-faktor penghambat kemajuan dan b) melapangkan proses asimilasi dengan mengeliminasi faktor-faktor penghambat tersebut termasuk di dalamnya tradisi, praktek-praktek ritual yang kontra-produktif.
Dua hal di atas menjadi faktor pemicu yang menggugah ulama-ulama abad 19 M untuk memikirkan cara bagaimana umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali sebagaimana umat Islam masa klasik dahulu. Muhammad Ali Pasya (penguasa Mesir saat itu) serta merta mengakui kemajuan Barat dan tanpa sungkan-sungkan ia berpendapat bahwa untuk bangkit dari ketertinggalan umat Islam harus belajar dari Barat. Ia lalu mengirim mahasiswa untuk belajar ke Eropa.
Tidak lama kemudian muncullah gerakan rasionalitas dan intelektualitas yang disebut dengan ‘gerakan kebangkitan’ (al-Nahdhah) yang mencoba menghidupkan turats (khazanah) klasik. Para intelektual ini berusaha sekuat tenaga untuk mencoba menghidupkan turats masa keemasan Islam. Namun, yang menjadi problema bahwa proyek ‘kebangkitan’ ini berjalan di saat jurang antara revolusi serta pencerahan Eropa dan keterpurukan masyarakat Islam sangat dalam. Akibatnya, mereka kurang mampu menggunakan piranti-piranti rasionalitas yang diwariskan oleh periode klasik. Ditambah lagi dengan kemestian harus berbenturan dengan kekolotan dalam kubu-kubu Islam yang lain.
Mesir kemudian menjadi pioner kebangkitan pemikiran Islam. Setelah al-Afghāniy, Rifā’ah al-Ţahţāwiy dan Muhammad ‘Abduh, beberapa pemikir kemudian muncul dalam berbagai bidang. Bahkan al-Azhar sebagai universitas tertua yang memegang teguh tradisionalisme Islam, tidak luput dari upaya pembaharuan meskipun harus berbenturan dengan kekolotan beberapa ulama al-Azhar.
Namun yang banyak menjadi perhatian adalah Muhammad ‘Abduh yang dianggap bapak pembaruan. Dia dianggap sebagai bapak pembaruan karena hampir seluruh tokoh pembaruan, tidak hanya di bidang keagamaan menganggap terinspirasi oleh ide pembaruannya.
Pemikiran Muhammad ‘Abduh dapat terlihat dengan jelas pada bukunya “al-Islām dīn al-‘Ilm wa al-Madaniyyah.” Secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama: Mengedepankan asas rasional dalam memandang segala sesuatu, karena hanya dengan pandangan rasional saja yang dapat membawa kepada keimanan yang benar.
Kedua: Mendahulukan rasio jika terjadi pertentangan antara teks dengan rasio. Caranya adalah dengan memberi takwil sehingga teks tersebut tidak bertentangan dengan rasio.
Ketiga: Meninggalkan sikap mengkafirkan orang yang berbeda dalam pemikiran. Ucapan Abduh yang terkenal dalam hal ini ialah bila terucap dari seseorang sebuah kalimat yang mengandung kecenderungan kafir dari seratus sisi dan mengandung kecendrungan kepada keimanan dari satu sisi maka kewajiban kita untuk menilai dia sebagai seorang yang beriman dan bukan seorang kafir.
Keempat: Pengakuan atas adanya sunnatullah pada alam.
Kelima: Menghilangkan otoritas keberagamaan, sebab selain Allah dan rasul-Nya tidak ada yang memiliki otoritas dan hak untuk menilai akidah seseorang, apakah dia beriman atau kafir. Yang terdapat di dalam Islam hanyalah mauidzah hasanah, seruan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan bukan pengadilan atas akidah seseorang.
Keenam: Meneruskan dakwah Islam untuk menepis anggapan-anggapan negatif yang telah melembaga seputar ajaran Islam. Seperti ajaran jihad dan anggapan Islam adalah agama kekerasan dan menolak pluralisme. Abduh ingin menegaskan bahwa Islam lahir dengan tabiat toleransi dan tidak mengenal pemaksaan akidah.
Ketujuh: Menumbuhkan sikap cinta terhadap para pemeluk agama yang berbeda. Ini dipertegas dengan diizinkannya oleh Islam untuk menikahi wanita ahlul kitāb, Yahudi maupun Nasrani. Dalam hal ini tetapp memberikan kebebasan untuk tetap memeluk agama asalnya dan menjalankan segala ibadah termasuk hak untuk berpegian ke gereja.
Kedelapan: Penggabungan antara maslahat dunia dan akhirat. Kehidupan dalam Islam lebih didahulukan daripada sebuah agama. Islam tidak membenarkan adanya rahbāniyyah (ajaran kepanditaan). Islam juga tidak melarang semua kenikmatan di dunia, seperti ketika menjalankan puasa, ada dispensasi untuk meninggalkannya jika sakit ataupun semakin bertambah. Kesemua ini menggambarkan dengan jelas keseimbangan maslahat agama dan dunia.
Dan dari delapan dasar di atas yang sangat ditekankan oleh Abduh adalah menghentikan otoritas keberagamaan pada seseorang ataupun lembaga tertentu, karena dengannya segala pembaharuan dan reformasi dalam wacana agama Islam mengalami hambatan ataupun hukuman sebagaimana dialami oleh Abduh sendiri pada masa hidupnya.
Tokoh-tokoh pembaruan selanjutnya adalah murid dari Abduh seperti Rāsyīd Ridhā yang melakukan pembaharuan wacana Islam, Sa'ad Zaghlūl sebagai perintis "Hizb Wafd" partai politik pertama di Mesir dan pemimpin gerakan liberal di Mesir. Terdapat pula Qāsim Amin penulis buku "Tahrīr al-Mar'ah" dan "al-Mar'ah al-Jadīdah". Tidak hanya di Mesir, Abduh pun berhasil memberikan pengaruhnya hingga ke Afrika Utara seperti Syaikh ‘Abd al-Hamīd ibn Bādis perintis Jami'yyah Ulama di Aljazair dan Muhammad al-Ţāhir ibn ‘Āsyūr di Tunisia.
Ide pembaruan kemudian semakin berkembang dan mulai terlihat pada penafsiran sumber asas Islam. Di bidang penafsiran al-Qur’an misalnya, Fazlur Rahman dalam magnum opusnya Major Themes of the Qur’an mengusulkan pendekatan metodologis yang baru dalam tafsir. Ia mengkritik tafsir yang menganggap al-Qur’an sebagai sejumlah kaidah hukum yang berlaku secara kaku dan terpisah dari konteks atau satu dengan yang lain. Ia menekankan bahwa setiap kaidah yang dituturkan al-Qur’an diwahyukan dalam konteks historis tertentu, tetapi memiliki tujuan moral dan sosial lebih umum.
Di bidang hadis, Muhammad al-Gazāliy (w. 1996) menerbitkan buku al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīŝ. Di dalamnya ia menggagas reformulasi kajian hadis. Hadis yang sedikit perawinya yang banyak beredar ditinjau ulang. Sebab banyak yang berisi nilai-nilai yang tidak masuk akal. Ia juga beranggapan bahwa umat Islam terlalu menaruh perhatian besar pada aspek ibadah dan hukum lalu mengabaikan urusan politik dan ekonomi.
Secara umum, untuk meraih kemajuan umat Islam membuka diri dan memperhatikan faktor-faktor kemajuan Barat. Di bidang pemikiran keagamaan, apa yang diungkapkan ‘Abduh adalah sesuatu yang niscaya. Dan yang lebih utama adalah menyerukan bahwa pintu ijtihad telah dibuka lagi. Segala bentuk kejumudan dan kemandegan berpikir serta meninjau ulang ajaran-ajaran yang dianggap dogmatis. Ijtihad adalah senjata ampuh untuk melawan bid’ah, khurafat dan takhayul yang menghalangi ideal Islam.
III. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa sejarah pemikiran keagamaan Islam beriringan dengan sejarah umat Islam itu sendiri. Karena itu sejarah pemikiran Islam dapat dilihat pada sejarah Islam yang dibagi pada zaman klasik yang berlangsung antara tahun 650-1250 M. Periode Pertengahan yang berlangsung dari tahun 1250-1800 M. Serta periode Modern yang berlangsung dari masa 1800 M. sampai sekarang.
Corak pemikiran pada masa klasik adalah rasional. Faktor yang melatarbelakangi corak rasional ini adalah adanya teks-teks keagamaan dari al-Qur’an dan hadis yang menempatkan akal manusia pada porsi yang cukup luas. Faktor yang lain adalah masuknya filsafat dan sains Yunani ke dunia Islam pada masa Dinasti Abbasiah yang dapat berasimilasi dengan paradigma pemikiran Islam, yang meninggikan akal. Selain itu stabilitas politik dan sosial termasuk faktor yang membuat pemikiran keagamaan tumbuh subur pada masa ini.
Pada periode pertengahan, umat Islam dan pemikiran keagamaan mengalami kemunduran. Beberapa faktor yang melatabelakanginya adalah kondisi sosial politik setelah jatuhnya Bagdad ke tangan Mongol. Akibatnya instabilitas dalam berbagai aspek kehidupan terjadi dan secara langsung mempengaruhi gerakan pemikiran keagamaan. Penulis menyimpulkan beberapa faktor lain yaitu adanya aspek absolut yang membawa kepada ajaran dogmatis dalam agama. Ajaran absolut ini teralu dibesarkan dan berimbas pada faktor lain yaitu tertutupnya pintu ijtihad. Hasil karya ulama klasik juga dianggap absolut sehingga ajaran agama sudah dianggap baku. Pintu ijtihad tidak perlu dibuka lagi sebab ajaran-ajaran Islam yang telah ada mampu menjawab segala bentuk permasalahan. Faktor yang lain adalah kesalahan dalam menanggapi kritik al-Gazāliy atas filsafat dan anggapan bahwa tasawuf sebagai jalan ideal kepada kebenaran yang hakiki.
Akan tetapi pada periode modern, pemikiran keagamaan mulai menemukan momentum. Ini dilatarbelakangi oleh kesadaran umat Islam atas ketertinggalan yang nyata dari bangsa Barat. Faktor yang paling menghentak adalah invasi Napoleon ke Mesir yang juga membawa ekspedisi ilmiah. Setelah itu kesadaran umat Islam kemudian berwujud pada munculnya tokoh-tokoh pembaruan seperti Muhammad ‘Abduh yang kemudian menyerukan untuk meninjau ulang ajaran-ajaran agama yang terlanjur melembaga dan menghalangi kemajuan. Akal harus kembali diletakkan pada posisinya yang oleh al-Qur’an sendiri didudukkan pada posisi tinggi. Yang paling utama adalah membuka kembali pintu ijtihad yang selama ini tertutup dan menghalangi tercapainya ideal Islam.























DAFTAR PUSTAKA
Abū Khalīl, Syauqiy, DR. Fī al-Tārīkh al-Islāmiy. Cet. I; Damaskus: Dār al-Fikr, 1991.
‘Abd al-Bāqiy, Muhammad Fu’ād. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Quran al-Karīm (Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
Arkoun, Muhammad. Al-Fikr al-Islāmiy. Cet. II; Beirut: al-Markāz al-Ŝaqāfiy al-‘Arabiy, 1996.
_________________. Qadāyā fī Naqd al-Aql al-Dīniy. Cet. II; Beirut: Dār al-Ţalī’ah, 2000.
Al-Fayyūmiy, Muhammad Ibrāhim. Al-Madrasah al-Falsafiyyah fī al-Islām Bayn al-Musysyā`iyyah wa al-Isyrāqiyyah. Cet. I; Kairo: Dār al-Hidāyah, 1994.
Ibrāhim, Ibrāhim ‘Abd al-Syāfiy. Al-Bāhiŝūn ‘an al-Haqīqah ‘Inda al-Gazāliy. Cet. I; Kairo: Maţba’ah al-Husain al-Islāmiyyah, 1995.
al-‘Iyādiy, ‘Abd al-Azīz. Michel Foucault, al-Ma’rifah wa al-Sulţah. Cet. I; Beirut: al-Muassasah al-Jam’iyyah li al-Dirāsāt wa al-Nasyr, 1994.
Al-Jābiriy, Muhammad ‘Ābid. Al-Turāŝ wa al-Hadāŝah. Beirut: al-Markaz al-Ŝaqāfiy al-‘Arabiy, t.th.
Al-Jundiy, ‘Abd al-Halīm. Al-Qur’an wa al-Manhaj al-‘Ilmiy al-Mu’āşir. Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1984.
Kafāfiy, Husain, DR. Al-Masīhiyyah wa al-Islām fiy Mişr. Cairo: al-Hay’ah al-Mişriyyah al-‘Āmmah li al-Kitāb, 2001.
Koran Nahdah Mişr Mesir. Edisi 15 Pebruari 2003.
Madjid, Nurcholis. “Warisan Intelektual Islam.” Dalam Nurcholis Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam. Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984), h. 26-27.
Mahmūd, Abd al-Halīm. Al-Tafkīr al-Falsafiy fī al-Islām. Cet. II; Kairo: Dār al-Ma’ārif, t.th.
Al-Māş, Badr. ‘Abd al-Razzāq “Badr al-Dīn Muhammad ibn Ahmad al-Dimasyq al-Syahīr Basīţ al-Mārdīniy; Aşruh wa Hayātuh.” Majallat al-Syarī’ah wa al-Dirāsāt al-Islāmiyyah, vol. XIII/34, Kuwait, April 1998.
Meuleman, Johan Hendrik. “Pergolakan Pemikiran Keagamaan.” Dalam Taufik Abdullah (ed.). Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jilid VI. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.
Al-Naşūliy, Anīs. Asbāb al-Nahdat al-‘Arabiyyah fiy al-Qarn al-Tāsi’ ‘Asyar. Cet. I; Beirut: Dār Ibn Zaydūn, 1985.
Nasution, Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. V; Bandung: Mizan, 1998.
______________. Pembaharuan dalam Islam. Cet. IX; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.
Al-Nawawiy, Muhy al-Dīn. Al-Minhāj Syarh Şahīh Muslim ibn al-Hajjāj. Juz I. Cet. III; Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1996.
Al-Qaţţān, Mannā’. Mabāhiŝ fī ‘Ulūm al-Qur’an. Cet. II; Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif, 1996.
Wan Daud, Wan Mohd. Nor. The Concept of Knowledge in Islam and its Implication for Education in a Developing Country. Diterjemahkan oleh Munir. Konsep Pengetahuan Dalam Islam. Cet.I; Bandung: Pustaka, 1997.

Jumat, 22 Januari 2010

ISLAM IDEAL ADALAH ISLAM YANG MEMBERI MANFAAT BAGI ORANG LAIN

Idul fitri adalah momentum lahirnya manusia muslim ideal, manusia muslim paripurna. Sebab puasa ramadhan telah menempa umat Islam dengan nilai-nilai berikut

Pertama, Mendidik dan melatih manusia untuk mengekang kesenangan perut agar tidak diperhamba atau diperbudak oleh perutnya. Ini terkandung di dalam pengekangan diri dari makan dan minum.

Pada dasarnya, makan dan minum itu adalah halal. Akan tetapi jika melampaui batas, yang halal itu akan menjadi haram, dan perbuatan itu dibenci oleh Allah dan disukai oleh syaitan.

Dengan puasa, makan dan minum yang terkadang melampaui batas itu dapat kembali diseimbangkan. Sehingga ketika tiba hari kemenangan ini, umat Islam yang telah berhasil dalam puasanya, mampu mengendalikan diri dari yang halal, terlebih lagi dari makanan, minuman yang memang diharamkan oleh Allah. Begitu pula cara memperoleh makanan dan minuman itu, tidak lagi menempuh cara-cara yang menyalahi ajaran agama yang mulia ini.

Kesadaran yang telah lahir kembali di dalam jiwa kita di hari yang suci ini, akan mampu membawa kita kepada aktifitas yang suci pula pada hari-hari mendatang. Tiada lagi cara-cara kotor dalam memperoleh nafkah, seperti yang belakangan ini marak terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti penimbunan bahan kebutuhan pokok masyarakat, kecurangan dalam jual beli, daging ayam disuntik air, daging sapi digelonggong, beras diberi zat pemutih, barang yang kadaluarsa dicampur dengan barang yang baru dan berbagai praktek curang, yang tidak hanya merugikan kita secara materil, akan tetapi bisa merenggut jiwa kita secara perlahan. Tidakkah di dalam tadarus Al-Qur'an kita, kita membaca kisah kaum Nabi Syu'aib, yang dimusnahkan Allah dengan bencana yang amat pedih. Azab dan siksaan itu mereka peroleh karena mereka curang dalam takaran dan timbangan ketika berjual beli. Padahal apa yang kita temukan di dalam kehidupan kita sehari-hari, pola laku sebagian kita itu lebih parah dari pola laku kaum Nabi Syuaib. Konsekuensinya sebagai sunnatullah, maka jika kita tidak segera menyadari itu, boleh jadi bencana, azab dan siksa-Nya pun akan lebih hebat dari apa yang telah dialami kaum Nabi Syuaib.

Hawa nafsu untuk mendapatkan sesuatu jika tidak mampu dikendalikan akan mendorong seseorang untuk menghalalkan segala cara. Sebab hawa nafsu tidak pernah puas dan selalu mengajak kepada hal-hal yang bersifat negatif. Ia bagaikan air laut. Semakin diminum, semakin mengundang dahaga.

Semoga dengan usainya puasa, dan dengan sucinya kita dari dosa-dosa yang telah lalu, catatan kelam dosa-dosa itu segera kita tinggalkan. Hawa nafsu mampu kita kendalikan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd.

Kedua, Mendidik manusia untuk secara sadar melatih mengekang nafsu syahwat agar terhindar dari perbuatan-perbuatan keji dan kotor. Ajaran ini terkandung di dalam larangan melakukan hubungan badan, walaupun dengan isteri sepanjang siang hari Ramadhan.

Dengan nilai ini, diharapkan dengan usainya puasa Ramadhan akan lahir, manusia-manusia suci yang menegakkan sifat adil di dalam dirinya, yaitu dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama. Bukan malah sebaliknya, menjadikannya sebagai tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Dengan sifat ini, ia takut melakukan penyelewengan-penyelewengan sebagaimana ia takut jika dilemparkan ke dalam api neraka.

Perbuatan zina, atau dengan bahasa-bahasa yang kelihatannya lebih sopan, seperti selingkuh, orang ketiga, wanita idaman lain adalah penyimpangan syahwat yang dituruti di dalam tatanan masyarakat. Allah berfirman:

" Janganlah kalian mendekati zina dengan melakukan hal-hal yang mengarah kepadanya. Sebab zina adalah perbuatan keji yang sangat jelas keburukannya. Jalan itu adalah merupakan jalan yang paling buruk."

Jalan yang paling buruk bertentangan dengan ajaran agama kita yang selalu mengajak kepada jalan lurus, jalan hidayah dan jalan yang membawa kepada ketenteraman hidup.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd.

Kaum muslimin muslimat jamaah 'id yang berbahagia,

Ketiga, Menanamkan kebiasaan untuk mengawasi diri sendiri, karena yakin bahwa segala perbuatan pasti dapat dilihat oleh Allah, walau bagaimanapun jelinya orang merahasiakannya.

Puasa mengandung nilai ihsan, yaitu merasakan pengawasan Allah, di manapun dan kapanpun ia berada. Allah Maha Tahu segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Tindakan dan perbuatan yang lahir, ucapan yang keluar senantiasa terkontrol oleh kesadaran akan pengawasan Allah.

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat penjaga yang siap mencatatnya."

Keempat, Menanamkan sifat sabar dan tabah dalam hati setiap muslim dalam menghadapi segala godaan dan cobaan hidup yang pada dasarnya merupakan ujian keimanan dari Allah swt.

Puasa dengan nilai ini akan melahirkan muslim yang memiliki kecerdasan emosional, yang mampu mendorong lahirnya ketabahan dan kesabaran menghadapi segala tantangan dan ujian. Sebuah hadis Rasulullah saw, dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

إذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يصخب فإن سابّه أحد أو قاتله فليقل: إنّى صائم.

"Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah dia mengucapkan kata-kata buruk, jangan juga berteriak memaki. Bila ada yang memakinya, atau mengutuknya, maka hendaklah dia berucap: "Aku sedang puasa."

Seseorang yang telah melakukan puasa, akan mengaplikasikan nilai ini pada kehidupan sehari-harinya. Ia mengendalikan hawa nafsunya. Ia menjadi cerdas secara emosional, sehinga ia akan bertindak dan berbicara pada saat diperlukan, dengan kadar yang proporsional, serta pada waktu dan tempat yang tepat. Rasulullah saw. adalah manusia teladan, dan panutan utama dalam hal ini. Ia tidak banyak bicara, tidak berkata kecuali atas dasar kebenaran, bekerja keras, dan tidak melakukan hal-hal yang sia-sia, tidak mendatangkan manfaat. Dari segi emosional antara lain, di dalam sejarah Nabi, tersebut bagaimana beliau menolak permintaan gunung thaif yang akan mengubur hidup-hidup bangsa thaif yang menjawab dakwah Rasulullah dengan penganiayaan, sehingga beliau terluka. Beliau berkata, bahwa mereka melakukan itu sebab mereka belum mengetahui arti dakwahnya.

Kesabaran dan ketabahannya di dalam dakwah membuahkan hasil gemilang dengan terbentuknya negara Madinah. Dengan demikian di dalam kehidupan kita ini keberhasilan dan kesuksesan, dunia dan akhirat, insya Allah mampu dicapai dengan kesabaran dan ketabahan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd.

Kelima, Melahirkan manusia yang bermanfaat bagi orang banyak, dengan adanya amalan-amalan, memberi makan orang miskin, anjuran memperbanyak sedekah dan infaq dan membayar zakat fitrah pada bulan ramadhan.

Nilai ini kemudian melahirkan manusia-manusia muslim yang membawa manfaat, tidak hanya kepada sesama muslim akan tetapi juga kepada umat manusia. Rasulullah bersabda:

خير الناس أنفعهم للناس

"Sebaik-baik manusia itu adalah yang paling banyak mendatangkan manfaat bagi manusia."

Puasa dimaksudkan tidak hanya pengayaan amalan-amalan personal, akan tetapi juga amalan-amalan sosial. Bukankah Ramadhan ini kita tutup dengan membayar zakat fitrah yang merupakan manifestasi keberhasilan kita mengembangkan semangat sosial dan kepedulian yang tinggi kepada masyarakat dan lingkungan sekitar. Memiliki kepekaan dan kepedulian pada lingkungan adalah salah satu perwujudan derajat "la'allakum tattaqun" yang merupakan tujuan pensyariatan ibadah puasa. Sedangakan orang-orang yang bertaqwa itu didefinisikan oleh Al-Qur'an dalam QS. Ali 'Imran (3): 134:

"Mereka adalah orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, baik dalam keadaan cukup, kurang, mampu maupun tidak mampu, demi mendapatkan perkenan Allah. Kemudian, di samping itu, juga menahan marah sehingga tidak sampai membalas terutama kepada orang yang berbuat tidak baik kapada mereka, bahkan memaafkannya. Mereka itu termasuk orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah akan selalu memberi pahala dan perkenan- Nya kepada orang-orang seperti ini.

Manusia muslim adalah manusia yang selalu membawa manfaat, kedamaian, dan ketenteraman di tengah-tengah masyarakatnya. Manusia yang selalu menganjurkan dan mencontohkan perbuatan-perbuatan baik, dan selalu mencegah dan menghindari perbuatan yang mungkar, aniaya lagi keji dan merugikan kepentingan masyarakat banyak.

Rasulullah sebenarnya telah menggambarkan gambaran ideal seorang muslim, di dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده

Seorang muslim adalah orang yang membuat sesama muslim atau orang lain selamat dari perbuatan tangan dan ucapan lidahnya.

Seorang muslim tidak hanya membawa manfaat, akan tetapi lebih awal adalah menghindarkan orang lain dari gangguan yang ditimbulkan oleh ucapan dan perbuatannya.

Alangkah indahnya Islam, dan alangkah eloknya, jika tiap-tiap muslim mentransformasikan pengertian ini sebagai pandangan dan sikap hidup di dalam kehidupan sehari-harinya, di dalam berbagai aktifitas kehidupan di dunia yang fana ini.

Dengan pengertian ini, maka tiap-tiap muslim secara pribadi-pribadi mampu menunjukkan betapa ajaran Islam membawa rahmat bagi umat manusia. Dan secara otomatis, kita tidak lagi menganggap orang-orang yang senantiasa menimbulkan ketidak tenangan, ketidak tentraman, teror, perusakan, sebagai bagian dari umat Islam, sebagaimana Rasulullah secara tegas mengeluarkan orang-orang-orang yang berbuat demikian dari golongan umat Islam.

من حمـل علينا السلاح فليس منـا

"Barang siapa, yang membuat ketakutan, menghunuskan senjata kepada sesama manusia untuk melukainya bukan karena kebenaran, maka ia tidak termasuk dalam golonganku."

Begitu pula yang mengganggu aktifitas perekonomian dengan perbuatan-perbuatan curang yang merugikan masyarakat, juga dikeluarkan Rasulullah dari golongan umat Islam:

من غـشَّ فليس منـَّا

"Barang siapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golonganku."

Ibadah puasa yang telah usai kita lakukan adalah latihan dan pembinaan jiwa umat Islam, untuk mewujudkan nilai-nilai ini di dalam kehidupan di atas dunia ini pada hari-hari mendatang. Karena itu hari ini kita merayakan kemenangan kita dari sikap dan pola-pola hidup negatif itu. Marilah kita jaga kemampuan kita mengendalikan diri, mengekang hawa nafsu yang setiap saat, di mana saja dan dengan cara-cara apa saja selalu menggoda kita. Marilah kita, menjaga itu, sehingga setiap saat kita dapat merasakan kegembiraan seperti kegembiraan pada hari yang fitri ini. Marilah kita wujudkan di dalam diri kita masing-masing sosok manusia muslim yang ideal, manusia muslim paripurna seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Mewujudkan dalam diri kita sosok muslim yang sesungguhnya adalah prasyarat utama kehidupan yang bahagia, tentram dan damai di atas bumi Indonesia ini. Marilah dengan momentum idul fitri tahun ini kita buka lembaran baru kehidupan kita. Krisis yang melanda negeri kita ini yang telah menahun, marilah kita mulai dengan menyingkirkan krisis yang ada di dalam diri kita dengan menyucikan pikiran, dan membersihkan tingkah laku kita dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah kita raih pada puasa ramadhan yang baru saja berlalu. Mulailah dari kita dan mulailah dari sekarang. Amiiiin

Jumat, 14 Agustus 2009

Isra dan Mi'raj; Nilai yang terlupakan

ISRA’ MI’RAJ: SISI YANG TERLUPAKAN

Isra’ Mi’raj adalah sebuah peristiwa monumental dan kolosal. Sebuah mukjizat yang didahului kondisi dan suasana sedih luar biasa yang dirasakan oleh Rasulullah SAW. Ketika beliau ke Thaif menyebarkan dakwahnya, penduduk Thaif menjawabnya dengan cemooh, intimidasi psikis bahkan kekerasan fisik. Beliau sangat bersedih..... Bukankah lewat informasi-informasi al-Qur’an ditemukan bahwa Rasulullah begitu sesak dadanya dengan kesedihan manakala umat yang diserunya mengabaikannya. Sebab beliau tahu, ia menawarkan kebenaran, kebaikan, keindahan, akan tetapi mereka enggan menerimanya. ”Fala’allaka baakhiunn nafsaka ’alaa aatsaarihim in lam yu’minuu bihadzal hadiitsi asafan”
Ketika manusia mengabaikannya, Allah memuliakannya dan mengangkat derajatnya ke tempat yang sangat tinggi. Inilah mukjizat Isra’ Mi’raj, yang pada dasarnya bukan hanya untuk menguatkan dakwah tetapi juga untuk memuliakan dan mengingatkan posisi Nabi di sisi Allah. Seakan-akan Allah berkata: ”Jika bumi tidak menghargaimu, maka sesungguhnya Langit mengangkat derajatmu, Jika manusia mengabaikanmu dan menyia-nyiakan seruan dakwahmu, maka sesungguhnya Allah memanggilmu, dan menyambutmu untuk memperlihatkanmu tanda-tanda kebesaran-Nya.”
Inilah Isra’ dan Mi’raj, yang sesungguhnya masing-masing memiliki mukjizat dan nilai-nilai tersendiri meskipun terjadi di satu malam. Mukjizat Isra’ tergambar dalam QS. Al-Isra’ (17): 1 dan mukjizat Mi’raj tergambar dalam QS. Al-Najm (53): 1-18.
Peristiwa Isra’ digambarkan oleh Al-Qur’an dengan diawali kalimat ”Tasbih” Bagaimanapun seseorang berupaya mencari sisi peristiwa, cara dan episodenya, maka pencarian itu akan berakhir dengan kegamangan dan takjub luar biasa. Maka kalimat ”Tasbih” amat tepat untuk memberi keyakinan pada hati yang selalu mencari, Maha Suci Allah, jika menghendaki sesuatu maka sesuatu itu akan terjadi seketika.
Peristiwa Isra’ ini kemudian dilanjutkan lagi dengan naik ”mi’raj” nya Nabi ke Sidratul Muntaha, melewati langit demi langit dan melampaui batas materi, dan batas-batas ruang dan waktu. Semua itu terjadi dalam waktu yang singkat, dan singkatnya digambarkan bagaikan seorang yang bangun dari peraduannya dan kembali lagi dalam keadaan peraduannya itu masih hangat.
Semua orang mengingkari peristiwa ini, manakala Rasulullah memberitakannya. Mengapa? Karena ukuran logika kala itu mengatakan bahwa orang Arab menempuh perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis (Yerusalem) hingga berminggu-minggu dengan kendaraan unta dan kuda. Perjalanan kembalipun juga menempuh waktu yang sama lamanya.
Bahkan, di masa modern dan kemajuan teknologi transportasi sekarang ini, peristiwa di atas tetap tidak akan terjadi dan berlangsung secepat itu.
Lalu, jika peristiwa itu benar adanya, transportasi seperti apa yang digunakan Rasulullah? Hadis Sahih menceritakan bahwa Rasulullah ditemani Malaikat Jibril menggunakan buraq, kendaraan yang kecepatannya tak dapat dilukiskan. Buraq, berasal dari kata barq yang berarti cahaya. Ini memberi indikasi bahwa perjalanan Rasulullah menggunakan kecepatan cahaya, yang menurut ukuran kita kecepatannya 300 ribu km/detik.
Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah, kecepatan yang digunakan jauh melebihi kecepatan cahaya, sebab mampu menembus batas dan hukum ruang dan waktu. Allah dengan kekuasaan-Nya telah melipat jarak yang memisahkan antara Makkah dan Yerusalem. Dan Allah telah memberi izin-Nya hingga Rasulullah mampu mencapai puncak langit sidratul Muntaha.
Di dalam peristiwa ini, juga dikisahkan pertemuan Rasulullah dengan Nabi-nabi pendahulunya. Mereka saling berkomunikasi, padahal dunia mereka berbeda. Atas izin-Nya pula perbedaan dunia itu mampu dilampaui. Sungguh, keajaiban demi keajaiban terjadi karena Allah menghendaki itu terjadi.
Allah menginginkan Rasulullah di dalam dua perjalanan itu melihat tanda-tanda kebesaranNya ”linuriyahuu min Aayaatinaa.”
Tanda-tanda kebesaranNya yang dimaksud adalah: Pertama: Turunnya Malaikat Jibril tanpa membawa wahyu. Sebab pada dasarnya Jibril hanya diturunkan ketika membawa wahyu atau pada saat terjadinya peristiwa di luar kemampuan manusia, seperti pada saat dibelahnya lautan untuk keselamatan Musa dan para pengikutnya dari kejaran Firaun. Kedua; Buraq yang telah diceritakan sebelumnya.
Ketiga; pertemuan Rasulullah dengan para Nabi yang telah wafat. Dikisahkan bahwa Rasulullah memimpin mereka dalam shalat. Tapi bukankah shalat baru disyariatkan beberapa saat kemudian? Boleh jadi shalat yang dimaksud di sini adalah Rasulullah membacakan kepada mereka beberapa ayat Al-Quran. Sebab, membaca qur’an adalah shalat juga. Inti dari pertemuan ini adalah, suntikan semangat untuk Rasulullah bahwa dakwah tauhid terus berlangsung, dan bahwa dialah Nabi yang telah diberitakan sebelumnya kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.
Tampilnya Rasulullah sebagai imam di depan para Nabi menandakan bahwa ajaran yang dibawanya adalah ajaran final, yang menyempurnakan ajaran-ajaran tauhid terdahulu.
Keempat; Baitul Maqdis menjadi persinggahan sebelum menuju Sidratul Muntaha. Mengapa harus ke Baitul Maqdis dulu dan tidak langsung dari masjidil haram ke Sidratul Muntaha?
Di dalam sejarah, tercatat bahwa Baitul Maqdis adalah pusat dakwah kenabian. Para Nabi berasal dari Bani Israil. Karena keutamaan ini, bangsa Israil menganggap dirinya sebagai bangsa pilihan. Akan tetapi, kenyataan ini berbanding terbalik dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka menyia-nyiakan risalah tauhid, mengingkari wahyu bahkan membunuh para Nabi yang diutus kepada mereka. Allah berkehendak mencabut label keutamaan itu. Risalah tauhid dialihkan ke Bani Ismail. Kedatangan Rasulullah ke Baitul Maqdis adalah sebuah proklamasi perpindahan tampuk risalah ini dari Bani Israil ke Bani Ismail, dari bangsa Yahudi ke bangsa Arab.
Pada kesempatan Mi’raj di malam itu, terdapat dua tanda-tanda kebesaranNya. Pertama; Seperti difirmankan pada QS. Al-Najm (53): 16-18 ”ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya yang paling hebat.
Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi (Final Frontier) . Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu. Lalu apa yang meliputi sidrah itu? Maka apakah yang meliputi sidrah itu adalah cahaya atau bahkan zat Allah? Jika benar, sungguh Rasulullah telah merasakan kenikmatan surgawi yang paling tinggi yaitu melihat Allah. Pada QS. Al-Qiyamah (75): 22-23, ”Wajah-wajah orang mukmin kala itu berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat.”
”Perjumpaan”nya dengan Allah adalah puncak kehormatan dan penghargaan kepada Rasulullah SAW. Kepribadiannya yang sangat sederhana, tawadlu’ dan akhlak mulia lainnya membawanya ke haribaan Allah tanpa memohon dan meminta. Kita mengingat ketika Musa berada di bukit Thursina dan berbicara kepada Tuhan, ia memohon ”Tuhan, nampakkanlah ZatMu padaku!” Ia terjatuh tidak sadarkan diri manakala gunung di depannya hancur luluh oleh cahayaNya. Begitu pula permohonan Nabi Ibrahim agar Allah memperlihatkannya bagaimana menghidupkan dari sesuatu yang mati. Lain lagi Nabi Sulaiman, ia memohon diberikan oleh Allah kerajaan yang tiada bandingannya (QS. Shad (38):35). Nabi Muhammad tidak berani untuk melakukan itu di hadapan Allah. Namun, demikian Allah telah mengangkatnya ke derajat yang tiada taranya.
Tanda kebesaranNya yang kedua adalah kewajiban Shalat lima kali sehari semalam. Ketika, Rasulullah menikmati indahnya ”berjumpa” dengan Allah, maka shalat adalah media agar umatnya ikut pula menikmati keindahan ”perjumpaan” itu. Shalat adalah upaya berhubungan atau menyambung tali (shilah) dengan Allah SWT. Media ini diberikan kepada umat Muhammad sebagai penghargaanNya pada pribadi yang mulia ini. Lima kali sehari kita dapat berhubungan dengan Allah, berdoa dan meminta apa saja, memohon ampunan seberat apapun dosa yang pernah dilakukan. Dia Allah, Tuhan yang telah memberikan kesempatan kepada seorang hamba untuk menghubungiNya kapanpun dan di manapun. Dialah Tuhan yang mengabulkan permintaan seorang hamba bahkan memberinya melebihi apa yang diminta, membalas 10 kali sebuah perbuatan baik, dan hanya membalas sekali sebuah perbuatan maksiat. Rahmat, kasih sayang dan keutamaan-keutamaan dari Allah tersebut semuanya dapat diraih melalui shalat. Maka, sadarkah kita akan nilai shalat ini? Renungkanlah sebuah penghargaan Rasulullah pada shalat, ”Aku jadikan saat-saat terindahku ketika sedang shalat.”
Mengenai perintah shalat ini, ada hal yang perlu diteliti lebih jauh. Sudah masyhur di dalam riwayat isra’ mi’raj bahwa pada awalnya kewajiban shalat itu sebanyak 50 rakaat. Akan tetapi atas pertimbangan Nabi Musa, Rasulullah terus meminta keringanan kepada Allah hingga tersisa 5 rakaat saja. Hadis yang mengurai kisah ini ternyata tidak memiliki sanad yang kuat. Begitu pula dari segi muatan (matan) hadis perlu dikritisi dari empat sudut pandang; Pertama: Pertemuan Rasulullah dengan Allah adalah sebuah momentum yang agung dan khidmat, maka logiskah jika Rasulullah pada momentum tersebut dapat datang dan pergi begitu saja dan hanya untuk meminta pengurangan?
Kedua: Ada dugaan dan keraguan dalam muatan kisah ini yang mengarah kepada cerita Israiliyyat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Pemilihan sosok Nabi Musa di antara nabi-nabi yang lain mengindikasikan ke arah tersebut di atas. Lagi pula bagaimana bisa Musa lebih mengetahui keadaan umat Muhammad dari Muhammad sendiri? Jika kemudian hal ini diterima, boleh saja orang Yahudi beranggapan bahwa mereka memiliki andil dan jasa atas orang Islam.
Ketiga: Kisah di atas bernuansa materialistik. Sebab terlihat adanya transaksi, tawar menawar yang biasanya menjadi kebiasaan orang-orang Yahudi yang terkenal materialistis. Hal ini menguatkan dugaan bahwa kisah ini dibuat oleh orang-orang Yahudi yang masuk Islam pada masa-masa awal Islam, dengan tujuan-tujuan tertentu untuk melemahkan kaum muslimin.
Keempat: Transaksi dan tawar menawar jumlah rakaat shalat memiliki kemiripan dengan transaksi dan tawar menawar antara Nabi Musa dan orang-orang Yahudi yang diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi, seperti terdapat dalam surah al-Baqarah. Hal yang semakin menguatkan bahwa kisah ini adalah rekaan orang-orang Yahudi.
Empat alasan ini ditambah dengan integritas moral Rasulullah yang tiada sudi meminta apalagi dengan kondisi yang begitu khidmat berhadapan dengan Allah SWT, sangatlah cukup untuk meragukan kisah jumlah rakaat tersebut. Cukuplah kita menggambarkan bahwa suasana seperti yang digambarkan surah al-Najm (53): 1-18 menandakan bahwa apa yang terjadi saat itu semuanya adalah mukjizat, yang sulit digambarkan dan diwujudkan dalam kalimat-kalimat. Itulah Isra’ Mi’raj, tanda-tanda kebesaran Allah SWT ” (ra’aa min aayaati rabbihil kubraa). Di dalamnya ada rahasia antara Allah dan Rasulullah, Mukjizat khusus bagi Rasulullah, penghargaan dan penghormatan bagi pribadinya serta sebuah suntikan kekuatan sehingga Rasulullah terlepas dari kesedihan dan semakin bersemangat di dalam menyeru kepada Islam.
Semoga ini semua dapat mengingatkan pada keutamaan-keutamaan shalat dan sosok pribadi Rasulullah yang ke-uswah-annya jangan hanya berhenti pada tataran simbol bagi umat Islam, akan tetapi harus menjadi jiwa dan tindakan nyata. Wallaahu A’lam.