Jumat, 14 Agustus 2009

Isra dan Mi'raj; Nilai yang terlupakan

ISRA’ MI’RAJ: SISI YANG TERLUPAKAN

Isra’ Mi’raj adalah sebuah peristiwa monumental dan kolosal. Sebuah mukjizat yang didahului kondisi dan suasana sedih luar biasa yang dirasakan oleh Rasulullah SAW. Ketika beliau ke Thaif menyebarkan dakwahnya, penduduk Thaif menjawabnya dengan cemooh, intimidasi psikis bahkan kekerasan fisik. Beliau sangat bersedih..... Bukankah lewat informasi-informasi al-Qur’an ditemukan bahwa Rasulullah begitu sesak dadanya dengan kesedihan manakala umat yang diserunya mengabaikannya. Sebab beliau tahu, ia menawarkan kebenaran, kebaikan, keindahan, akan tetapi mereka enggan menerimanya. ”Fala’allaka baakhiunn nafsaka ’alaa aatsaarihim in lam yu’minuu bihadzal hadiitsi asafan”
Ketika manusia mengabaikannya, Allah memuliakannya dan mengangkat derajatnya ke tempat yang sangat tinggi. Inilah mukjizat Isra’ Mi’raj, yang pada dasarnya bukan hanya untuk menguatkan dakwah tetapi juga untuk memuliakan dan mengingatkan posisi Nabi di sisi Allah. Seakan-akan Allah berkata: ”Jika bumi tidak menghargaimu, maka sesungguhnya Langit mengangkat derajatmu, Jika manusia mengabaikanmu dan menyia-nyiakan seruan dakwahmu, maka sesungguhnya Allah memanggilmu, dan menyambutmu untuk memperlihatkanmu tanda-tanda kebesaran-Nya.”
Inilah Isra’ dan Mi’raj, yang sesungguhnya masing-masing memiliki mukjizat dan nilai-nilai tersendiri meskipun terjadi di satu malam. Mukjizat Isra’ tergambar dalam QS. Al-Isra’ (17): 1 dan mukjizat Mi’raj tergambar dalam QS. Al-Najm (53): 1-18.
Peristiwa Isra’ digambarkan oleh Al-Qur’an dengan diawali kalimat ”Tasbih” Bagaimanapun seseorang berupaya mencari sisi peristiwa, cara dan episodenya, maka pencarian itu akan berakhir dengan kegamangan dan takjub luar biasa. Maka kalimat ”Tasbih” amat tepat untuk memberi keyakinan pada hati yang selalu mencari, Maha Suci Allah, jika menghendaki sesuatu maka sesuatu itu akan terjadi seketika.
Peristiwa Isra’ ini kemudian dilanjutkan lagi dengan naik ”mi’raj” nya Nabi ke Sidratul Muntaha, melewati langit demi langit dan melampaui batas materi, dan batas-batas ruang dan waktu. Semua itu terjadi dalam waktu yang singkat, dan singkatnya digambarkan bagaikan seorang yang bangun dari peraduannya dan kembali lagi dalam keadaan peraduannya itu masih hangat.
Semua orang mengingkari peristiwa ini, manakala Rasulullah memberitakannya. Mengapa? Karena ukuran logika kala itu mengatakan bahwa orang Arab menempuh perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis (Yerusalem) hingga berminggu-minggu dengan kendaraan unta dan kuda. Perjalanan kembalipun juga menempuh waktu yang sama lamanya.
Bahkan, di masa modern dan kemajuan teknologi transportasi sekarang ini, peristiwa di atas tetap tidak akan terjadi dan berlangsung secepat itu.
Lalu, jika peristiwa itu benar adanya, transportasi seperti apa yang digunakan Rasulullah? Hadis Sahih menceritakan bahwa Rasulullah ditemani Malaikat Jibril menggunakan buraq, kendaraan yang kecepatannya tak dapat dilukiskan. Buraq, berasal dari kata barq yang berarti cahaya. Ini memberi indikasi bahwa perjalanan Rasulullah menggunakan kecepatan cahaya, yang menurut ukuran kita kecepatannya 300 ribu km/detik.
Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah, kecepatan yang digunakan jauh melebihi kecepatan cahaya, sebab mampu menembus batas dan hukum ruang dan waktu. Allah dengan kekuasaan-Nya telah melipat jarak yang memisahkan antara Makkah dan Yerusalem. Dan Allah telah memberi izin-Nya hingga Rasulullah mampu mencapai puncak langit sidratul Muntaha.
Di dalam peristiwa ini, juga dikisahkan pertemuan Rasulullah dengan Nabi-nabi pendahulunya. Mereka saling berkomunikasi, padahal dunia mereka berbeda. Atas izin-Nya pula perbedaan dunia itu mampu dilampaui. Sungguh, keajaiban demi keajaiban terjadi karena Allah menghendaki itu terjadi.
Allah menginginkan Rasulullah di dalam dua perjalanan itu melihat tanda-tanda kebesaranNya ”linuriyahuu min Aayaatinaa.”
Tanda-tanda kebesaranNya yang dimaksud adalah: Pertama: Turunnya Malaikat Jibril tanpa membawa wahyu. Sebab pada dasarnya Jibril hanya diturunkan ketika membawa wahyu atau pada saat terjadinya peristiwa di luar kemampuan manusia, seperti pada saat dibelahnya lautan untuk keselamatan Musa dan para pengikutnya dari kejaran Firaun. Kedua; Buraq yang telah diceritakan sebelumnya.
Ketiga; pertemuan Rasulullah dengan para Nabi yang telah wafat. Dikisahkan bahwa Rasulullah memimpin mereka dalam shalat. Tapi bukankah shalat baru disyariatkan beberapa saat kemudian? Boleh jadi shalat yang dimaksud di sini adalah Rasulullah membacakan kepada mereka beberapa ayat Al-Quran. Sebab, membaca qur’an adalah shalat juga. Inti dari pertemuan ini adalah, suntikan semangat untuk Rasulullah bahwa dakwah tauhid terus berlangsung, dan bahwa dialah Nabi yang telah diberitakan sebelumnya kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.
Tampilnya Rasulullah sebagai imam di depan para Nabi menandakan bahwa ajaran yang dibawanya adalah ajaran final, yang menyempurnakan ajaran-ajaran tauhid terdahulu.
Keempat; Baitul Maqdis menjadi persinggahan sebelum menuju Sidratul Muntaha. Mengapa harus ke Baitul Maqdis dulu dan tidak langsung dari masjidil haram ke Sidratul Muntaha?
Di dalam sejarah, tercatat bahwa Baitul Maqdis adalah pusat dakwah kenabian. Para Nabi berasal dari Bani Israil. Karena keutamaan ini, bangsa Israil menganggap dirinya sebagai bangsa pilihan. Akan tetapi, kenyataan ini berbanding terbalik dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka menyia-nyiakan risalah tauhid, mengingkari wahyu bahkan membunuh para Nabi yang diutus kepada mereka. Allah berkehendak mencabut label keutamaan itu. Risalah tauhid dialihkan ke Bani Ismail. Kedatangan Rasulullah ke Baitul Maqdis adalah sebuah proklamasi perpindahan tampuk risalah ini dari Bani Israil ke Bani Ismail, dari bangsa Yahudi ke bangsa Arab.
Pada kesempatan Mi’raj di malam itu, terdapat dua tanda-tanda kebesaranNya. Pertama; Seperti difirmankan pada QS. Al-Najm (53): 16-18 ”ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya yang paling hebat.
Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi (Final Frontier) . Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu. Lalu apa yang meliputi sidrah itu? Maka apakah yang meliputi sidrah itu adalah cahaya atau bahkan zat Allah? Jika benar, sungguh Rasulullah telah merasakan kenikmatan surgawi yang paling tinggi yaitu melihat Allah. Pada QS. Al-Qiyamah (75): 22-23, ”Wajah-wajah orang mukmin kala itu berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat.”
”Perjumpaan”nya dengan Allah adalah puncak kehormatan dan penghargaan kepada Rasulullah SAW. Kepribadiannya yang sangat sederhana, tawadlu’ dan akhlak mulia lainnya membawanya ke haribaan Allah tanpa memohon dan meminta. Kita mengingat ketika Musa berada di bukit Thursina dan berbicara kepada Tuhan, ia memohon ”Tuhan, nampakkanlah ZatMu padaku!” Ia terjatuh tidak sadarkan diri manakala gunung di depannya hancur luluh oleh cahayaNya. Begitu pula permohonan Nabi Ibrahim agar Allah memperlihatkannya bagaimana menghidupkan dari sesuatu yang mati. Lain lagi Nabi Sulaiman, ia memohon diberikan oleh Allah kerajaan yang tiada bandingannya (QS. Shad (38):35). Nabi Muhammad tidak berani untuk melakukan itu di hadapan Allah. Namun, demikian Allah telah mengangkatnya ke derajat yang tiada taranya.
Tanda kebesaranNya yang kedua adalah kewajiban Shalat lima kali sehari semalam. Ketika, Rasulullah menikmati indahnya ”berjumpa” dengan Allah, maka shalat adalah media agar umatnya ikut pula menikmati keindahan ”perjumpaan” itu. Shalat adalah upaya berhubungan atau menyambung tali (shilah) dengan Allah SWT. Media ini diberikan kepada umat Muhammad sebagai penghargaanNya pada pribadi yang mulia ini. Lima kali sehari kita dapat berhubungan dengan Allah, berdoa dan meminta apa saja, memohon ampunan seberat apapun dosa yang pernah dilakukan. Dia Allah, Tuhan yang telah memberikan kesempatan kepada seorang hamba untuk menghubungiNya kapanpun dan di manapun. Dialah Tuhan yang mengabulkan permintaan seorang hamba bahkan memberinya melebihi apa yang diminta, membalas 10 kali sebuah perbuatan baik, dan hanya membalas sekali sebuah perbuatan maksiat. Rahmat, kasih sayang dan keutamaan-keutamaan dari Allah tersebut semuanya dapat diraih melalui shalat. Maka, sadarkah kita akan nilai shalat ini? Renungkanlah sebuah penghargaan Rasulullah pada shalat, ”Aku jadikan saat-saat terindahku ketika sedang shalat.”
Mengenai perintah shalat ini, ada hal yang perlu diteliti lebih jauh. Sudah masyhur di dalam riwayat isra’ mi’raj bahwa pada awalnya kewajiban shalat itu sebanyak 50 rakaat. Akan tetapi atas pertimbangan Nabi Musa, Rasulullah terus meminta keringanan kepada Allah hingga tersisa 5 rakaat saja. Hadis yang mengurai kisah ini ternyata tidak memiliki sanad yang kuat. Begitu pula dari segi muatan (matan) hadis perlu dikritisi dari empat sudut pandang; Pertama: Pertemuan Rasulullah dengan Allah adalah sebuah momentum yang agung dan khidmat, maka logiskah jika Rasulullah pada momentum tersebut dapat datang dan pergi begitu saja dan hanya untuk meminta pengurangan?
Kedua: Ada dugaan dan keraguan dalam muatan kisah ini yang mengarah kepada cerita Israiliyyat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Pemilihan sosok Nabi Musa di antara nabi-nabi yang lain mengindikasikan ke arah tersebut di atas. Lagi pula bagaimana bisa Musa lebih mengetahui keadaan umat Muhammad dari Muhammad sendiri? Jika kemudian hal ini diterima, boleh saja orang Yahudi beranggapan bahwa mereka memiliki andil dan jasa atas orang Islam.
Ketiga: Kisah di atas bernuansa materialistik. Sebab terlihat adanya transaksi, tawar menawar yang biasanya menjadi kebiasaan orang-orang Yahudi yang terkenal materialistis. Hal ini menguatkan dugaan bahwa kisah ini dibuat oleh orang-orang Yahudi yang masuk Islam pada masa-masa awal Islam, dengan tujuan-tujuan tertentu untuk melemahkan kaum muslimin.
Keempat: Transaksi dan tawar menawar jumlah rakaat shalat memiliki kemiripan dengan transaksi dan tawar menawar antara Nabi Musa dan orang-orang Yahudi yang diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi, seperti terdapat dalam surah al-Baqarah. Hal yang semakin menguatkan bahwa kisah ini adalah rekaan orang-orang Yahudi.
Empat alasan ini ditambah dengan integritas moral Rasulullah yang tiada sudi meminta apalagi dengan kondisi yang begitu khidmat berhadapan dengan Allah SWT, sangatlah cukup untuk meragukan kisah jumlah rakaat tersebut. Cukuplah kita menggambarkan bahwa suasana seperti yang digambarkan surah al-Najm (53): 1-18 menandakan bahwa apa yang terjadi saat itu semuanya adalah mukjizat, yang sulit digambarkan dan diwujudkan dalam kalimat-kalimat. Itulah Isra’ Mi’raj, tanda-tanda kebesaran Allah SWT ” (ra’aa min aayaati rabbihil kubraa). Di dalamnya ada rahasia antara Allah dan Rasulullah, Mukjizat khusus bagi Rasulullah, penghargaan dan penghormatan bagi pribadinya serta sebuah suntikan kekuatan sehingga Rasulullah terlepas dari kesedihan dan semakin bersemangat di dalam menyeru kepada Islam.
Semoga ini semua dapat mengingatkan pada keutamaan-keutamaan shalat dan sosok pribadi Rasulullah yang ke-uswah-annya jangan hanya berhenti pada tataran simbol bagi umat Islam, akan tetapi harus menjadi jiwa dan tindakan nyata. Wallaahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar