Sabtu, 09 Juli 2011

Mencari Hakikat Bahtera Nabi Nuh

Kisah tentang Perahu Nabi Nuh kembali muncul ke permukaan pada saat peringatan 6 tahun Gempa dan Tsunami Aceh. Di situs Liputan6.com tanggal 26 Desember 2010 kisah ini dideskripsikan dengan tampilan sebuah perahu yang berlabuh di atas sebuah rumah di Lampulo Banda Aceh. Konon perahu ini berhasil menyelamatkan 59 nyawa pada peristiwa maha dahsyat itu. Kedatangan perahu ini secara tiba-tiba di saat musibah gempa dan Tsunami terjadi, membuat orang-orang meyakini perahu ini sebagai gambaran perahu Nabi Nuh yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan mereka.
Sebagai orang beriman, kisah perahu besar Nabi Nuh yang tercatat dalam al-Qur’an merupakan peristiwa nyata bukan mitos. Perdebatan yang muncul adalah keberadaan Bahtera itu. Tidak sedikit ahli dan sarjana Barat beranggapan, bahwa hingga saat ini sisa-sisa peninggalan perahu Nabi Nuh tersebut masih tersimpan di puncak gunung Ararat Turki. Mereka menyebutnya sebagai “The Great Noah Ark .”
Kisah mengenai Perahu atau Bahtera Nabi Nuh sendiri diceritakan secara garis besar di dalam Q.S. al-Qamar (54): 9-15:
                                               •     
Terjemahnya: "Sebelum mereka, telah mendustakan pula kaum Nuh, maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: "Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman". Maka dia (Nuh) mengadu kepada Tuhannya: "bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku)". Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. Yang berlayar dengan pandangan mata Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh). Dan sesungguhnya telah Kami tinggalkan kapal itu sebagai tanda, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?"
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini: "Dan sesungguhnya Kami tinggalkan dia sebagai tanda," maksudnya sebagai pelajaran. Menurut pendapat lain, maksudnya adalah perahu yang Allah tinggalkan sebagai tanda bagi orang setelah kaum Nuh agar mereka mengambil pelajaran dari hal itu sehingga tidak mendustakan para Rasul. Berkata Qatadah: "Allah meninggalkan perahu itu di Baqardi di negeri Jazirah (satu tempat di negeri Iraq) sebagai pelajaran dan tanda sehingga bisa dilihat oleh generasi awal dari ummat ini. Betapa banyaknya perahu selain perahu ini, tetapi kemudian hancur menjadi abu."
Ucapan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat "Dan kami tinggalkan dia …" mencakup tiga makna:
Pertama, maksudnya adalah Kami tinggalkan kisah ini sebagai pejaran bagi orang setelahnya.
Kedua, maksudnya Kami tinggalkan perahu Nuh agar dilihat oleh ummat setelahnya agar mereka mengambil pelajaran dari diselamatkannya orang-orang mukmin oleh Allah dan dihancurkannya orang-orang kafir. Ketiga, maksudnya adalah Kami tinggalkan sejenis perahu tersebut di bumi dan Kami beritahukan kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran dari nikmat Allah kepada mereka dan bagaimana Allah membiarkan hidup keturunan Nuh dan orang mukmin setelah diselamatkan dengan perahu yang ada dan dikenal ini.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka upaya-upaya mencari fisik Perahu Nabi Nuh itu dan kemudian meyakini keberadaannya bukanlah merupakan penyimpangan dari syariat atau akal. Sebab diharapkan agar itu dapat dilihat oleh generasi manusia setelah Nabi Nuh sekaligus menjadi tanda dan pelajaran bagi mereka. Namun tidaklah berarti bahwa setiap orang yang menemukan perahu lama atau artefak-artefak yang berasal dari perahu kuno lalu dianggap sebagai perahu Nuh yang harus dipercaya. Apalagi perahu yang menolong 59 orang di Lampulo Banda Aceh pada saat terjadi Banjir Bah dan Tsunami. Karena yang paling utama dari semua kisah yang terdapat di dalam al-Qur’an termasuk kisah bahtera Nabi Nuh adalah bagaimana kisah dan kronologinya dapat memberikan nilai dan pelajaran bagi umat manusia yang dapat berguna dalam kehidupannya. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa tujuan utama kehadiran al-Qur’an adalah sebagai pemberi petunjuk dan pemberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia. Maka ia tidak memandang begitu penting untuk mencari tahu rincian hal-hal yang sifatnya simbolik, proses, serta nama-nama pelaku dan tempat yang tidak diuraikan secara gamblang oleh al-Qur’an.
Kembali ke kisah Bahtera Nabi Nuh. Dari ayat mengenai kisah ini dapat kita bayangkan bagaimana Nabi Nuh merancang sebuah bahtera yang begitu besar di puncak gunung. Kita tahu bagaimana ia merancangnya jauh sebelum datangnya Tsunami itu, di tengah tantangan yang begitu besar. Karena logika kaumnya saat itu adalah logika picik yang hampa dari keimanan. Mereka mengejek, mengumpat dan mencemooh perbuatan Nabi Nuh tersebut. Menurut mereka, perbuatan itu gila. Membuat bahtera di atas gunung, di daerah tandus yang tidak ada tanda-tanda turunnya hujan walaupun setitik.
Tapi tanpa di dahului tanda-tanda yang sesuai dengan akal mereka, tsunami datang bersama air bah. Hanya segelintir saja kaum Nabi Nuh yang percaya bahwa yang datang itu adalah azab Allah, lantas karena itu mereka naik ke atas bahtera. Yang lain, mereka tak kunjung mau beriman meskipun azab itu telah ada di depan mata. Mereka lebih mempercayai akal mereka bahwa gunung yang tinggi mampu menjadi tepat berlindung. Anehnya, anak Nabi Nuh ada di antara mereka yang tidak beriman, meskipun Nabi Nuh terus mengajaknya naik ke Bahtera. Itulah gambaran azab Allah yang tidak mengenal jargon nepotisme.
Sebuah kisah yang abadi. Tidak penting bagi kita untuk mencari di mana fisik Bahtera itu sekarang. Harus diyakini, bahtera itu pada hakikatnya masih tetap ada, setidaknya dalam tataran simbolik. Bahtera itu seakan-akan masih ada dan menunggu siapa saja yang ingin naik dan selamat dari air bah, badai Tsunami dan bermacam-macam musibah yang mengancam akan datang secara tiba-tiba. Tugasnya belum usai dan terus berlanjut, menunggu sia

pa saja yang ingin naik ke atasnya.
Jika kita mampu mengambil pelajaran, maka kita akan memahami bahwa fisik bahtera itu telah berubah. Demikian pula air bah dan Tsunami dalam kisah Nabi Nuh tersebut. Akan tetapi substansi keduanya tetap lestari bersama kompleksnya permasalahan duniawi yang mampu menenggelamkan siapa saja setiap saat. Tidak ada yang mampu memberi keselamatan kecuali substansi yang diemban oleh Bahtera Nabi Nuh. Kayu mayu dan tiangnya mungkin telah hancur. Namun substansinya tetap ada yaitu “keimanan kepada Allah dan konsistensi (istiqamah) mempertahankan keimanan itu.” Inilah makna dari naik ke atas Bahtera Nabi Nuh. Wallahu A’lam (SR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar